KHO PING HO Penulis Legendaris yang Memperkenalkan Silat Tiongkok


Siapa sih disini yang tidak kenal Deddy Mahendra Desta, entertainer serba bisa nan jenaka yang menjadi aktor, anak band, pelawak, presenter dan juga penyiar radio. Tapi tahukah kalian, kakek Desta dari sang ibu, Tina Asmaraman, adalah seorang penulis legendaris yang memperkenalkan ilmu beladiri Kung fu dan silat serta kehidupan para pendekar-pendekar Tiongkok yang hidup di masa-masa ketika Tiongkok masih menjadi Kekaisaran meski ia belum pernah menginjak tanah leluhurnya.
BAGAIMANAKAH KISAH SANG LEGENDA CERITA SILAT INI?

Hidup Dalam Kesulitan
Kho Ping Hoo lahir pada 17 Agustus 1926 di Sragen dari keluarga peranakan Tionghoa-Jawa. Ia berasal dari keluarga miskin sehingga ia terpaksa berhenti sekolah ketika berusia 12 tahun untuk bekerja menjadi penjaga toko. Tanggung jawab yang ia emban sebagai tulang punggung keluarga membuat dirinya sering berpindah dari satu tempat ke satu tempat untuk bekerja. Ia kembali ke Sragen untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan sebelum kembali bekerja sebagai mandor tembakau di Kudus. Perekonomiannya sedikit stabil setelah ia bekerja sebagi juru tulis di Perusahaan angkutan di Tasikmalaya sambil juga menjadi guru les bahasa Inggris pada tahun 1949.

Mulai Berkarir Sebagai Penulis
Kho Ping Hoo sebenarnya sudah mulai menulis cerita pendek pada tahun 1951 dengan latar belakang sejarah dan bersetting di Indonesia seperti "Badai Laut Selatan" dan "Darah Mengalir di Borobudur". Namun ia baru benar-benar serius menjadi penulis pada tahun 1958 ketika ia menulis karya yang berjudul "Pasukan Naga Putih" yang merupakan cerita silat berlatarkan daratan Tiongkok. Ternyata, cerita bersambung yang ditulis oleh Kho Ping Hoo laku keras dan terbit dibanyak majalah di Jakarta sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan berfokus sebagai penulis. Ia juga mendirikan usaha percetakan untuk menunjang karirnya dan perekonomiannya berangsur membaik.


Gaya Bercerita yang Unik
Ada satu hal mungkin yang paling unik dari Kho Ping Hoo, ia tidak bisa berbahasa Mandarin dan bahasa asing yang ia kuasai adalah Inggris dan Belanda. Ia juga tak pernah menginjakan kaki ke daratan Tiongkok sebelum 1985. Namun ia seolah bisa membawa pembaca ke daratan Tiongkok dan melihat bagaimana para pendekar-pendekar yang ia ciptakan saling beradu ilmu silat satu sama lain. Semua itu berkat gaya naratifnya yang lugas serta imajinasinya yang tinggi bercampur dengan kisah pengalaman hidupnya sebagai pekerja dan praktisi silat sehingga menciptakan keseruan dan ketegangan dalam cerita yang ia buat. Uniknya ia justru mengenal dunia persilatan dan Sastra Tionghoa dari buku-buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris atau Belanda.


Sempat Jadi Korban Rasisme
Pada tahun 1963, perkelahian antar etnis disebuah kampus di Jawa Barat memicu kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa. Kho Ping Hoo menjadi korban dimana rumahnya dilempari batu dan buku-bukunya dibakar. Kho Ping Hoo beserta keluarga pindah ke Solo dari Tasikmalaya dimana pasca G30S tahun 1965, sentimen anti komunis juga menyasar etnis Tionghoa yang dianggap pendukung pemerintahan komunis RRT. Rumah Kho Ping Hoo diamuk massa dan ia beserta keluarga mendapat teriakan-teriakan rasis. Kho Ping Hoo yang sakit hati nyaris memutuskan untuk pindah ke Tiongkok beserta keluarga namun akhirnya diurungkan. Ia mengganti nama menjadi Asmaraman Sukowati pada masa Orde Baru.

BU KEK SIANSU, Karya Ikonik Kho Ping Hoo
Sempat terpuruk, akhirnya Kho Ping Hoo bangkin dan kembali membuat cerita-cerita silatnya lagi. Salah satunya kini menjadi karya masterpiece dari sang penulis yakni saga Bu Kiek Siansu yang pertama terbit pada tahun 1973. Bu Kiek Siansu menceritakan seorang pendekar bernama Kwa Sin Liong. Kisah Kwa Sin Liong sebenarnya sudah dimulai sejak 1968 dalam cerita berjudul "Suling Emas" namun Bu Kek Siansu menceritakan prekuel saga mengenai Kwa Sin Liong muda yang disebut sebagai anak ajaib karena memiliki kepandaian untuk mengobati orang lain. Kwa Sin Liong kemudian menjadi pendekar bernama Bu Kek Siansu atau Manusia Setengah Dewa dan memiliki ilmu silat tak tertandingi  dan dianggap setengah dewa. Saga Bu Kek Siansu sendiri terdiri dari 17 serial.


Menginspirasi Serial-Serial Kolosal
Kho Ping Hoo wafat pada 22 Juli 1994. Sepanjang karirnya ia telah menulis 120 cerita silat dan 30 cerita non silat. Kho Ping Hoo dianggap berjasa memperkenalkan dan menaikan minat masyarakat Indonesia pada budaya Tionghoa khususnya dunia Kung Fu dan persilatan, terutama dimasa kebudayaan Tionghoa ditekan habis-habisan oleh Orde Baru. Pernah Juga serial-serial Kho Ping Hoo dijadikan serial televisi di SCTV pada tahun 2002 bertajuk " Legenda Kho Ping Hoo". Serial-serial kolosal yang sempat mewarnai pertelevisian Indonesia diawal 2000an juga banyak mengambil inspirasi dari cerita-cerita Kho Ping Hoo seperti Angling Dharma yang memiliki alur seperti "Bu Kek Siansu" dan Misteri Gunung Merapi berasal dari karya "Alap-alap Laut Kidul".



Sumber: instagram.com/inspecthistory

Komentar